Minggu, 01 April 2012

KEBIJAKAN KEBUDAYAAN

KEBIJAKAN KEBUDAYAAN

Indonesia sebagai sebuah negara dalam realitasnya terpisah pada beberapa bagian dan tingkatan, dari segi geografis dipisahkan oleh lautan dengan beratus-ratus pulau besar dan beribu-ribu pulau kecil. Kadangkalanya banyak pulau yang belum diberi nama, bahkan belakangan ini dua pulau yang berada di kawasan Kalimantan telah menjadi milik Negara Malaysia. Dari perspektif kewilayahan tampak pembagian
Indonesia Bagian Timur dan Indonesia Bagian Barat, atau kawasan perkotaan dan perdesaan. Realitas itu menyebabkan pula kewargaan penduduk Indonesia berbeda-beda dari segi kebudayaan. Pengelompokkan kewargaan serupa itu diwujudkan dalam satuansatuan etnik. Menurut kajian Hildred Geetz (1963), terdapat 300 kelompok etnik dan 250 jenis bahasa. Yang setiap kelompok etnik itu memiliki identitas kebudayaan sendiri, termasuk di dalamnya bahasa-bahasa yang digunakannya. Paling tidak menurut Koentjaraningrat (1971), dari keanekaragaman itu dapat dikategorikan atas 6 tipe sosial budaya masyarakat Indonesia, yaitu:
1. Masyarakat yang mata pencahariannya didasarkan kepada sistem berkebun yang amat sederhana, dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman utamanya dalam gabungan dengan berburu dan meramu, sedangkan azas kemasyarakatnnya adalah berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi sosial yang tegas.
2. Masyarakat perdesaan yang mata pencahariannya berazaskan kepada bercocok tanam di ladang atau sawah dengan padi sebagai tanaman utama, sistem dasar kemasyarakatan adalah komunitas petani, sebagai kesatuan masyarakat petani. Selain itu, masyarakatnya berorientasi kepada arah kehidupan kota, karena masyarakat seperti ini merasa dirinya sebagai bagian dari suatu kebudayaan yang lebih besar, yaitu kebudayaan kota, dari keadaan itu terwujud suatuperadaban kepegawaian atau pekerja yang diperkenalkan oleh para misionaris dan zending, atau penyebar agama dan gelombang pengaruh agama Islam tidak dialaminya.
3. Masyarakat perdesaan yang berazaskan kepada pencaharian di ladang atau sawah dengan padi sebagai tanaman utama, orientasi pada masyarakat kota yang mengarahkan segala perhatiannya untuk mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan dagang, pengaruh kuat dari agama Islam bercampur dengan peradaban kepegawaian atau pekerja yang diperkenalkan oleh sistem pemerintahan kolonial.
4. Masyarakat perdesaan yang berazaskan mata pencaharian bersawah dengan padi sebagai tanaman utama; sistem kemasyarakatan sebagai komunitas petani yang diikuti oleh makin berperannya diferensiasi dan stratifikasi sosial yang rumit. Masyarakat ini mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan pertanian yang bercampur baur dengan peradaban kepegawaian, atau pekerja, yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial. Dalam masyarakat seperti itu gelombang pengaruh kebudayaan asing telah dialaminya, bahkan turut pula mempengaruhi kebudayaannya.
5. Masyarakat kekotaan, yang bercirikan sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, dalam masyarakat ini semua kebudayaan asing amat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya.
6. Masyarakat metropolitan, yang berazaskan kepada kehidupan perdagangan danindustri, sehingga semua kehidupan masyarakatnya bersandar kepada aktivitasperdagangan dan industri, sebagian masyarakat itu diwarnai oleh kehidupanpemerintahan dengan jumlah aparat pemerintahan yang banyak serta berbaur dengan kesibukan politik. Di dalam masyarakat metropolitan seperti itu banyak pula orang yang berasal dari luar negara, atau orang asing. Apabila tahun 1971, Profesor Koentjaraningrat membagi masyarakat Indonesiadalam 6 tipe sosial budaya, sebagai perwujudan keanekaragaman itu, atau dilakukan jauh sebelumnya menurut pengelompokkan yang berazaskan kepada 19 daerah hukum adat, maka tahun 1985-1993 sebagai dasar dari keanekaragaman itu diwujudkan dalam 3 golongan suku-bangsa (Koentjaraningrat, 1993; J. Garna, 1993), yaitu: (1) suku-bangsa; (2) keturunan asing; dan (3) masyarakat terasing yang kini dikenal dengan sebutan komunitas adat terpencil. Kelompok suku-bangsa menunjukkan bahwa semua suku-bangsa yang memiliki daerah asal di dalam wilayah Indonesia, seperti suku-bangsa Minangkabau, Jawa, dan Sunda. Lain halnya dengan keturunan asing, kelompok masyarakat yang dianggap tidak memiliki daerah asal di Indonesia, karena daerah asal mereka berada di luar negeri (Cina, Arab, dan India). Golongan masyarakat yang ketiga, masyarakat terasing, adalah mereka yang dianggap penduduk yang masih hidup dalam tahap kebudayaan sederhana, dan biasanya masih bertempat tinggal dalam lingkungan hidup yang terisolasi.
Dengan demikian, tidaklah menutup kemungkinan apabila mengabaikan segi masyarakat dan kebudayaan serupa itu, maka dapat menimbulkan konflik antarsuku-bangsa dan agama seperti telah terjadi di masa-masa sebelum ini, yang berwujud pemberontakan: (1) Republik Maluku Selatan; (2) kelompok gerilyawan Bugis, atau dikenal sebagai peristiwa Kapten Andi Azis; (3) Darul Islam di Jawa Barat, yaitu gerakan keagamaan yang bertujuan membentuk negara yang berazaskan Islam; (4) Darul Islam di Sulawesi Selatan; (5) Darul Islam di Kalimantan Selatan (6) Darul Islam di Aceh; (7) Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat; dan (8) Permesta di Sulawesi Selatan. Meski menurut Karl D. Jackson (1990), ideologi Islam kurang terbukti sebagai sumbu ledak pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat.
Pembelahan penduduk Indonesia juga dapat ditimbulkan oleh adanya pelapisan sosial, maka akan wujud dalam masyarakat strata atas, menengah dan strata bawah. Masyarakat berpendidikan dan tidak berpendidikan, atau masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Pembelahan sosial dan budaya serupa itu, menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia memang penduduknya beragam dengan segala ciri-ciri dan sifatsifatnya yang dapat memberikan kesan ke atas suasana gejolak kehidupan sosial.
Profesor De Josselin De Jong, mengungkapkan dua konsep untuk dapat memahami masyarakat di Nusantara, yaitu:
Pertama, menganggap seluruh Kepulauan Indonesia itu sebagai suatu lapangan penelitian etnologi, melalui konsep itu dimaksudkan satu daerah di mana tersebar banyak kebudayaan yang beranekawarna bentuknya, tetapi yang semuanya mengundang perhatian akan betapa sifat dasar itu cukup konsisten, sehingga dapat dilakukan suatu metode perbandingan antara masyarakat-masyarakat yang memiliki sifat-sifat dasar yang sama.
Kedua, konsep mengenai pendiriannya tentang sifat dasar yang secara konsisten melandasi semua aneka warna masyarakat dan kebudayaan yang tersebar di seluruh Nusantara, dan sekaligus merupakan prinsip-prinsip inti susunan dari bentuk masyarakat Nusantara. Karena itulah, melalui pendekatan tersebut, diupayakan penguasaan wilayah atau perluasan teritorial dengan cara “aman”.
Demikian juga halnya tentang Aceh, bukan dilakukan oleh Jenderal Koehler, atau Jenderal-Mayor Deijkerhof yang mengenalkan strategi mengalahkan orang Aceh oleh orang Aceh, melainkan dilakukan oleh seorang bukan militer, yaitu DR Snouck Hurgronje, seorang etnolog yang paham betul masyarakat dan kebudayaan Aceh, sehingga dengan pemahamannya itulah dapat menentukan operasi Jenderal van Heutz mempasifikasi Aceh dalam kesatuan Hindia Belanda. Sederetan daftar keberhasilan pemerintahan kolonial dalam menerapkan kebijakan kebudayaan untuk mengembangkan kekuasaan di Nusantara yang tidak menimbulkan banyak gejolak, sehingga tidak harus dibayar mahal. Itu artinya, pemerintahan kolonial menempatkan musuh menjadi sahabat sebagai strategi kebudayaannya.
Semuanya itu tidaklah dapat dilepaskan dari berbagai kebijakan pembangunan yang mengabaikan kebudayaan, dan dari pemahaman serta keinginan membentuk kebudayaan Indonesia sebagai wahana pengintegrasian bangsa. Kebijakan pembangunan yang selama ini memang untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan manusia, hanya sayang bahwa dalam hal ini, orang sering lupa, yaitu manusia manakah yang dimaksud. Dalam lingkup Indonesia dengan berbagai macam kebudayaan – masalah ini menjadi masalah yang sangat perlu diperhatikan.
Apa yang dianggap sebagai hidup yang baik oleh orang Sunda tidak selamanya cocok bagi orang Bugis atau Batak; apa yang dipandang menguntungkan oleh orang Minangkabau atau Padang tidak selamanya demikian bagi orang Jawa atau Bali; atau apa yang bernilai bagi orang Melayu belum tentu bernilai bagi orang Banten.
Dalam konteks itu, persoalan integrasi untuk siapa menjadi sangat penting diperhatikan, artinya, kita tidak dapat mengunakan ukuran yang ada pada sistem nilai kita saja, yang biasa menjadi ukuran penentu kebijakan itu. Apakah untuk ukuran baik-buruk, bahagia-celaka atau untung-rugi. Bagaimana pun juga kita perlu memahami betul nilai-nilai yang ada pada masyarakat agar tujuan bernegara tercapai dan sesuai dengan nilai yang ada pada masyarakat itu.
Dengan pemahaman ini, strategi kebudayaan dapat ditentukan dari pandangan atau pemikiran yang ada pada masyarakatnya, sehingga langkah yang akan ditentukan itu mengikuti realitas sosial-budaya yang dihadapi masyarakat. Kematian akibat kelaparan seperti yang terjadi di Papua tidak bakalan terjadi, manakala pengenalan beras sebagai makanan pokok mereka di-introduksi melalui teknik bercocok tanam yang sesuai dengan tuntutan lingkungan alam mereka sendiri. Bukan kebijakan
Dalam konteks itu, hubungan antara sektor modern dan tradisional terpisah yang seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa suatu ikatan yang saling menunjang. Itu artinya, antara sektor modern dan tradisonal tiada keterpaduan yang diarahkan kepada jalinan saling menguntungkan. Imbas dari keadaan itu menunjukkan masyarakat dan kebudayaan yang terbentuk oleh situasi tersebut menjurus pada tingkat kehidupan sosial dan budaya yang berbeda satu masa lainnya. Masyarakat pendukung sektor modern semakin maju dan berkembang, sedangkan yang keadaan masyarakat satunya lagi semakin terpuruk dan tertinggal oleh perkembangan dunia modern.
Dari segi ini dilema etnisitas menjadi pemicu bangkitnya solidaritas etnik. Karena itu, seringkali terdengar, bahkan sudah biasa dianjurkan, bahwa persatuan etnik atau suku-bangsa itu sangat diperlukan untuk mencapai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Manurut pendapat dan anjuran itu, menunjukkan bahwa persatuan etnik sudah seharusnya dicapai terlebih dahulu sebelum dicapai persatuan nasional. Hal ini, berarti bahwa persatuan etnik dilihat sebagai satu syarat mutlak untuk mencapai persatuan nasional, kemudian timbul masalahnya ialah apakah pendapat ini bernar?
Kesimpulannya, masalah kebijakan kebudayaan yang terkait dengan integrasi nasional menjadi penting direnungkan kembali setelah sekian puluh tahun masyarakat di Indonesia menjalani kehidupan bernegara. Dalam konteks untuk mencari dasar persatuan melalui gejala empirik tentang: (1) pengentasan kemiskinan tanpa membeda-bedakan etnik; (2) ketidakseimbangan capaian ekonomi di antara etnik dan menghilangkan kesan monopoli terhadap kegiatan ekonomi serta penguasaan penghunian kawasan tempat tinggal oleh suatu golongan atau etnik tertentu; (3) kebebasan dan hak azasi individu yang dijamin dalam perlembagaan; (4) sistem pendidikan diperankan sebagai agen sosialisasi untuk memupuk kepribadian dan kesadaran berbangsa; dan (5) peranan Bahasa Indonesia bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga melahirkan satu identitas kebangsaan; (6) serta memupuk kesatuan kebudayaan dalam menghadapi kebudayaan asing yang sedang populer saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar