KEBIJAKAN KEBUDAYAAN
Indonesia sebagai sebuah negara dalam realitasnya terpisah pada beberapa
bagian dan tingkatan, dari segi geografis dipisahkan oleh lautan dengan
beratus-ratus pulau besar dan beribu-ribu pulau kecil. Kadangkalanya banyak
pulau yang belum diberi nama, bahkan belakangan ini dua pulau yang berada di
kawasan Kalimantan telah menjadi milik Negara Malaysia. Dari perspektif
kewilayahan tampak pembagian
Indonesia Bagian Timur dan Indonesia Bagian Barat, atau kawasan perkotaan
dan perdesaan. Realitas itu menyebabkan pula kewargaan penduduk Indonesia
berbeda-beda dari segi kebudayaan. Pengelompokkan kewargaan serupa itu
diwujudkan dalam satuansatuan etnik. Menurut kajian Hildred Geetz (1963),
terdapat 300 kelompok etnik dan 250 jenis bahasa. Yang setiap kelompok etnik
itu memiliki identitas kebudayaan sendiri, termasuk di dalamnya bahasa-bahasa
yang digunakannya. Paling tidak menurut Koentjaraningrat (1971), dari
keanekaragaman itu dapat dikategorikan atas 6 tipe sosial budaya masyarakat
Indonesia, yaitu:
1. Masyarakat yang mata pencahariannya didasarkan kepada sistem
berkebun yang amat sederhana, dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman
utamanya dalam gabungan dengan berburu dan meramu, sedangkan azas
kemasyarakatnnya adalah berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan
stratifikasi sosial yang tegas.
2. Masyarakat perdesaan yang mata pencahariannya berazaskan kepada bercocok
tanam di ladang atau sawah dengan padi sebagai tanaman utama, sistem dasar
kemasyarakatan adalah komunitas petani, sebagai kesatuan masyarakat petani.
Selain itu, masyarakatnya berorientasi kepada arah kehidupan kota, karena
masyarakat seperti ini merasa dirinya sebagai bagian dari suatu kebudayaan yang
lebih besar, yaitu kebudayaan kota, dari keadaan itu terwujud suatuperadaban
kepegawaian atau pekerja yang diperkenalkan oleh para misionaris dan zending,
atau penyebar agama dan gelombang pengaruh agama Islam tidak dialaminya.
3. Masyarakat perdesaan yang berazaskan kepada pencaharian di ladang atau
sawah dengan padi sebagai tanaman utama, orientasi pada masyarakat kota yang
mengarahkan segala perhatiannya untuk mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan
dagang, pengaruh kuat dari agama Islam bercampur dengan peradaban kepegawaian
atau pekerja yang diperkenalkan oleh sistem pemerintahan kolonial.
4. Masyarakat perdesaan yang berazaskan mata pencaharian bersawah dengan
padi sebagai tanaman utama; sistem kemasyarakatan sebagai komunitas petani yang
diikuti oleh makin berperannya diferensiasi dan stratifikasi sosial yang rumit.
Masyarakat ini mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan pertanian yang
bercampur baur dengan peradaban kepegawaian, atau pekerja, yang diperkenalkan
oleh pemerintahan kolonial. Dalam masyarakat seperti itu gelombang pengaruh
kebudayaan asing telah dialaminya, bahkan turut pula mempengaruhi
kebudayaannya.
5. Masyarakat kekotaan, yang bercirikan sebagai pusat pemerintahan dan
perdagangan, dalam masyarakat ini semua kebudayaan asing amat berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakatnya.
6. Masyarakat metropolitan, yang berazaskan kepada kehidupan perdagangan
danindustri, sehingga semua kehidupan masyarakatnya bersandar kepada
aktivitasperdagangan dan industri, sebagian masyarakat itu diwarnai oleh
kehidupanpemerintahan dengan jumlah aparat pemerintahan yang banyak serta
berbaur dengan kesibukan politik. Di dalam masyarakat metropolitan seperti itu
banyak pula orang yang berasal dari luar negara, atau orang asing. Apabila
tahun 1971, Profesor Koentjaraningrat membagi masyarakat Indonesiadalam 6 tipe
sosial budaya, sebagai perwujudan keanekaragaman itu, atau dilakukan jauh
sebelumnya menurut pengelompokkan yang berazaskan kepada 19 daerah hukum adat,
maka tahun 1985-1993 sebagai dasar dari keanekaragaman itu diwujudkan dalam 3
golongan suku-bangsa (Koentjaraningrat, 1993; J. Garna, 1993), yaitu: (1)
suku-bangsa; (2) keturunan asing; dan (3) masyarakat terasing yang kini dikenal
dengan sebutan komunitas adat terpencil. Kelompok suku-bangsa menunjukkan bahwa
semua suku-bangsa yang memiliki daerah asal di dalam wilayah Indonesia, seperti
suku-bangsa Minangkabau, Jawa, dan Sunda. Lain halnya dengan keturunan asing,
kelompok masyarakat yang dianggap tidak memiliki daerah asal di Indonesia,
karena daerah asal mereka berada di luar negeri (Cina, Arab, dan India).
Golongan masyarakat yang ketiga, masyarakat terasing, adalah mereka yang
dianggap penduduk yang masih hidup dalam tahap kebudayaan sederhana, dan
biasanya masih bertempat tinggal dalam lingkungan hidup yang terisolasi.
Dengan demikian, tidaklah menutup kemungkinan apabila mengabaikan segi masyarakat
dan kebudayaan serupa itu, maka dapat menimbulkan konflik antarsuku-bangsa dan
agama seperti telah terjadi di masa-masa sebelum ini, yang berwujud
pemberontakan: (1) Republik Maluku Selatan; (2) kelompok gerilyawan Bugis, atau
dikenal sebagai peristiwa Kapten Andi Azis; (3) Darul Islam di Jawa Barat,
yaitu gerakan keagamaan yang bertujuan membentuk negara yang berazaskan Islam;
(4) Darul Islam di Sulawesi Selatan; (5) Darul Islam di Kalimantan Selatan (6)
Darul Islam di Aceh; (7) Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di
Sumatera Barat; dan (8) Permesta di Sulawesi Selatan. Meski menurut Karl D.
Jackson (1990), ideologi Islam kurang terbukti sebagai sumbu ledak
pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat.
Pembelahan penduduk Indonesia juga dapat ditimbulkan oleh adanya pelapisan
sosial, maka akan wujud dalam masyarakat strata atas, menengah dan strata
bawah. Masyarakat berpendidikan dan tidak berpendidikan, atau masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Pembelahan sosial dan budaya serupa itu,
menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia memang penduduknya beragam dengan segala
ciri-ciri dan sifatsifatnya yang dapat memberikan kesan ke atas suasana gejolak
kehidupan sosial.
Profesor De Josselin De Jong, mengungkapkan dua konsep untuk dapat memahami
masyarakat di Nusantara, yaitu:
Pertama, menganggap seluruh Kepulauan Indonesia itu sebagai suatu lapangan
penelitian etnologi, melalui konsep itu dimaksudkan satu daerah di mana
tersebar banyak kebudayaan yang beranekawarna bentuknya, tetapi yang semuanya mengundang
perhatian akan betapa sifat dasar itu cukup konsisten, sehingga dapat dilakukan
suatu metode perbandingan antara masyarakat-masyarakat yang memiliki
sifat-sifat dasar yang sama.
Kedua, konsep mengenai pendiriannya tentang sifat dasar yang secara konsisten
melandasi semua aneka warna masyarakat dan kebudayaan yang tersebar di seluruh
Nusantara, dan sekaligus merupakan prinsip-prinsip inti susunan dari bentuk
masyarakat Nusantara. Karena itulah, melalui pendekatan tersebut, diupayakan
penguasaan wilayah atau perluasan teritorial dengan cara “aman”.
Demikian juga halnya tentang Aceh, bukan dilakukan oleh Jenderal Koehler,
atau Jenderal-Mayor Deijkerhof yang mengenalkan strategi mengalahkan orang Aceh
oleh orang Aceh, melainkan dilakukan oleh seorang bukan militer, yaitu DR
Snouck Hurgronje, seorang etnolog yang paham betul masyarakat dan kebudayaan
Aceh, sehingga dengan pemahamannya itulah dapat menentukan operasi Jenderal van
Heutz mempasifikasi Aceh dalam kesatuan Hindia Belanda. Sederetan daftar keberhasilan
pemerintahan kolonial dalam menerapkan kebijakan kebudayaan untuk mengembangkan
kekuasaan di Nusantara yang tidak menimbulkan banyak gejolak, sehingga tidak
harus dibayar mahal. Itu artinya, pemerintahan kolonial menempatkan musuh
menjadi sahabat sebagai strategi kebudayaannya.
Semuanya itu tidaklah dapat dilepaskan dari berbagai kebijakan pembangunan
yang mengabaikan kebudayaan, dan dari pemahaman serta keinginan membentuk
kebudayaan Indonesia sebagai wahana pengintegrasian bangsa. Kebijakan pembangunan
yang selama ini memang untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan manusia,
hanya sayang bahwa dalam hal ini, orang sering lupa, yaitu manusia manakah yang
dimaksud. Dalam lingkup Indonesia dengan berbagai macam kebudayaan – masalah
ini menjadi masalah yang sangat perlu diperhatikan.
Apa yang dianggap sebagai hidup yang baik oleh orang Sunda tidak selamanya
cocok bagi orang Bugis atau Batak; apa yang dipandang menguntungkan oleh orang
Minangkabau atau Padang tidak selamanya demikian bagi orang Jawa atau Bali;
atau apa yang bernilai bagi orang Melayu belum tentu bernilai bagi orang
Banten.
Dalam konteks itu, persoalan integrasi untuk siapa menjadi sangat penting
diperhatikan, artinya, kita tidak dapat mengunakan ukuran yang ada pada sistem
nilai kita saja, yang biasa menjadi ukuran penentu kebijakan itu. Apakah untuk
ukuran baik-buruk, bahagia-celaka atau untung-rugi. Bagaimana pun juga kita
perlu memahami betul nilai-nilai yang ada pada masyarakat agar tujuan bernegara
tercapai dan sesuai dengan nilai yang ada pada masyarakat itu.
Dengan pemahaman ini, strategi kebudayaan dapat ditentukan dari pandangan
atau pemikiran yang ada pada masyarakatnya, sehingga langkah yang akan
ditentukan itu mengikuti realitas sosial-budaya yang dihadapi masyarakat. Kematian
akibat kelaparan seperti yang terjadi di Papua tidak bakalan terjadi, manakala
pengenalan beras sebagai makanan pokok mereka di-introduksi melalui teknik
bercocok tanam yang sesuai dengan tuntutan lingkungan alam mereka sendiri.
Bukan kebijakan
Dalam konteks itu, hubungan antara sektor modern dan tradisional terpisah
yang seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa suatu ikatan yang saling
menunjang. Itu artinya, antara sektor modern dan tradisonal tiada keterpaduan
yang diarahkan kepada jalinan saling menguntungkan. Imbas dari keadaan itu
menunjukkan masyarakat dan kebudayaan yang terbentuk oleh situasi tersebut
menjurus pada tingkat kehidupan sosial dan budaya yang berbeda satu masa
lainnya. Masyarakat pendukung sektor modern semakin maju dan berkembang,
sedangkan yang keadaan masyarakat satunya lagi semakin terpuruk dan tertinggal
oleh perkembangan dunia modern.
Dari segi ini dilema etnisitas menjadi pemicu bangkitnya solidaritas etnik.
Karena itu, seringkali terdengar, bahkan sudah biasa dianjurkan, bahwa
persatuan etnik atau suku-bangsa itu sangat diperlukan untuk mencapai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Manurut pendapat dan anjuran itu, menunjukkan
bahwa persatuan etnik sudah seharusnya dicapai terlebih dahulu sebelum dicapai
persatuan nasional. Hal ini, berarti bahwa persatuan etnik dilihat sebagai satu
syarat mutlak untuk mencapai persatuan nasional, kemudian timbul masalahnya
ialah apakah pendapat ini bernar?
Kesimpulannya, masalah kebijakan kebudayaan yang terkait dengan integrasi
nasional menjadi penting direnungkan kembali setelah sekian puluh tahun
masyarakat di Indonesia menjalani kehidupan bernegara. Dalam konteks untuk
mencari dasar persatuan melalui gejala empirik tentang: (1) pengentasan
kemiskinan tanpa membeda-bedakan etnik; (2) ketidakseimbangan capaian ekonomi
di antara etnik dan menghilangkan kesan monopoli terhadap kegiatan ekonomi
serta penguasaan penghunian kawasan tempat tinggal oleh suatu golongan atau
etnik tertentu; (3) kebebasan dan hak azasi individu yang dijamin dalam perlembagaan;
(4) sistem pendidikan diperankan sebagai agen sosialisasi untuk memupuk
kepribadian dan kesadaran berbangsa; dan (5) peranan Bahasa Indonesia bukan
hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga melahirkan satu identitas kebangsaan;
(6) serta memupuk kesatuan kebudayaan dalam menghadapi kebudayaan asing yang
sedang populer saat ini.